SEJARAH SINGKAT DESA LURAGUNGLANDEUH
A. Masa Pra-Islam
Luragunglandeuh adalah salah satu desa yang lahir di pusat kebudayaan besar Luragung. Sebelum berkembang menjadi sebuah desa yang mapan, Luragunglandeuh adalah bagian dari lembur ageung Luragung, desa tua paling awal yang kemudian terpecah menjadi beberapa desa karena adanya reorganisasi wilayah yang dilakukan oleh pemerintah atau pengambil kebijakan yang berwenang pada masanya. Semula, wilayah Luragung merupakan bagian dari kawasan hutan yang rimbun. Meski demikian, sesekali manusia yang hidup di komunitas-komunitas kuna melintas melewati kawasan tersebut dan bahkan menjadikannya sebagai lahan yang diolah dalam bentuk ladang pertanian kering atau huma. Sejumlah komunitas masyarakat yang bisa melakukan aktivitas tersebut adalah masyarakat Sunda tempo dulu yang tersebar di beberapa kantong pemukiman tua, seperti halnya Galuh yang berlokasi di bagian selatan Luragung dan Saunggalah yang berada di sebelah baratnya.

Gambar 1. Naskah Bujangga Manik (bagian awal dan akhir naskah)
Sumber: Bodleian Libraries, University of Oxford, Inggris
Meski demikian, Luragung telah berkembang sebagai pemukiman mandiri yang mapan, bahkan sejak masa pra-Islam. Desa ini disebutkan, bersama Kuningan, Timbang, Manis, Padabeunghar, dan Darma, dalam Manuskrip Bujangga Manik (sekarang disimpan di Perpustakaan Bodleian Universitas Oxford, Inggris dengan nomor katalogus MS Jav b 3 [R]), sebagai desa yang sudah ada pada tahun 1500an. Naskah Sunda Kuno itu seolah mengkonfirmasi informasi yang ada dalam naskah Cirebon yang jauh lebih muda, yakni Carita Purwaka Caruban Nagari, yang mengisahkan bahwa pada tahun 1481 di Luragung sudah ada seorang pemimpin yang bernama Jayaraksa dengan gelar yang dipahami oleh orang Cirebon sebagai Ki Gedeng Luragung (Ki Gede ing Luragung, atau Pemimpin/ Tuan Besar dari Luragung). Kepemimpinan tradisional itu tentu tidak terbentuk secara singkat, melainkan telah berproses begitu lama, sehingga bisa diasumsikan bahwa Luragung sudah mantap sebagai sebuah wilayah sejak masa yang kuna, bahkan sejak Islam belum masuk ke kawasan tersebut.
Gambar 5. Gambaran Desa Luragung dalam Dokumen Arsip tahun 1815
Naskah kuno yang disimpan oleh masyarakat Luragunglandeuh, mendiang Pak Arifin, mengungkap nama leluhur Luragung yang disebut sebagai Dalem Agung. Tokoh ini dikatakan sebagai pemimpin legendaris desa, yang kemudian kepemimpinannya dilanjutkan oleh menantunya yang dikenal sebagai Susuhunan Panyilih, dan dilanjutkan oleh Dipati Jaba Nagara. Sebelum mulai menggarap lahan persawahan, masyarakat Luragung hidup ngahuma sebagaimana Urang Sunda lainnya. Dalam hal ini, ngahuma adalah proses kegiatannya sedangkan pahuma merupakan tempat ngahuma termasuk pelakunya. Mata pencaharian masyarakat Sunda ini terkonfirmasi oleh Manuskrip Carita Parahyangan, yang menyebutkan bahwa salah satu leluhur urang Sunda yang bernama Sang Mangukuhan adalah seorang panghuma. “Na Sang Mangukuhan nyieun manéh panghuma,” sebut penulis naskah dalam Téks Carita Parahyangan (disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, dengan nomor register Kropak 406, diakuisisi dari Museum Nasional Indonesia).
Pengolahan wilayah Luragung sebagai tempat huma tidak berpengaruh banyak pada peradaban awal daerah tersebut karena masyarakat Sunda Kuna tidak menempatinya secara permanen. Kegiatan itu hanya menyisakan pelbagai cerita tutur tentang bagaimana daerah Langseb merupakan benteng yang dijaga oleh para tokoh-tokoh Sunda terdahulu di zaman Kerajaan Pajajaran (atau Kerajaan Galuh) di masa pra-Islam. Situs-situs bersejarah yang ada di desa-desa yang terafiliasi dengan lembur ageung Luragung seolah turut mengamini hal itu karena tidak ditemukan jejak arkeologis dari masa Hindu-Budha, terlebih masa sebelumnya.
B. Masa Islam
Sejarah Luragung semakin terang di masa Islam, karena pada periode ini diketahui bahwa wilayah itu mulai dibangun secara sistematis dengan adanya pengaturan-pengaturan aspek kemasyarakatan tertentu. Adapun tokoh yang berperan dalam kegiatan Islamisasi wilayah Luragung adalah Susuhunan Syarif Hidayatullah atau Sunan Maulana Jati, yang diyakini dalam tradisi lisan masyarakat sebagai pemimpin utama yang berasal dari Cirebon. Dari gelar yang disandangnya, kita dapat dengan mudah mengidentifikasi bahwa tokoh itu berasal dari keluarga keraton Cirebon, atau setidaknya merupakan tokoh yang disebut-sebut sebagai sultan paling masyhur dalam sejarah Cirebon, Susuhunan Gunung Jati Purba.
Pelbagai silsilah, baik yang ada dalam Manuskrip Sajarah Rante kraton ataupun lainnya, menyebutkan bahwa tokoh Cirebon yang memiliki peran penting dalam aspek politik dan keagamaan di bagian Kuningan timur adalah Pangeran Sutajaya beserta keturunannya dari Gebang. Terkait dengan hal ini, Pangeran Sutajaya adalah keturunan Pangeran Wira Suta. Manuskrip Purwaka Caruban Nagari menyebut bahwa Pangeran Wira Suta adalah cicit dari Sunan Maulana Jati, karena dia adalah putra Pangeran Sedang Kamuning bin Pangeran Pasarean bin Sunan Syarif Hidayatullah. Bersandar pada informasi ini, kita bisa melihat kemiripan di antara Raden Arya Suta/ Sutawijaya dan Pangeran Sutajaya. Pada tahun 1686, kala Pangeran Sutajaya I bertahta, pemimpin Luragung adalah sosok bernama Singayuda.
Walaupun begitu, sosok ningrat Cirebon yang memakai nama Sutajaya tidaklah tunggal. Ada lebih dari 3 orang yang menggunakan nama itu sebagai penguat kedudukan mereka di Kepangeranan Gebang. Oleh sebab itu, banyak sekali sosok bernama Pangeran Sutajaya yang dikenal dalam sejarah desa-desa di Kuningan, karena pada dasarnya eksistensi mereka terus berjalan selama puluhan tahun dan tokohnya lebih dari satu orang. Sejumlah desa yang mengabadikan nama Pangeran Sutajaya dalam sejarah mereka adalah Luragung, Cigedang, Cibingbin, Pagundan, Muncangela, dan sejumlah desa lainnya.
Sejak 22 Maret 1706, Pangeran Aria Cirebon selaku Wedana-Bupati Priangan yang membawahi para penguasa lokal termasuk Pangeran Sutajaya, memiliki kewajiban untuk menggalakkan penanaman padi di wilayah mereka. Besar kemungkinan apabila sosok Pangeran Sutajaya juga mendorong kegiatan pertanian di wilayah Luragung dan sekitarnya.
C. Masa Kolonial
Pengaruh VOC di wilayah Cirebon sebenarnya telah terasa di zaman sultan-sultan pertama keraton Cirebon, yaitu Sultan Sepuh I (Pangeran Martawijaya di Keraton Kasepuhan), Sultan Anom I (Pangeran Kartawijaya di Keraton Kanoman) dan Panembahan Cirebon (Pangeran Wangsakerta), melalui Perjanjian 7 Januari 1681 yang ditandatangani seluruh pihak yang bersepakat dari Cirebon dan VOC. Namun secara praktis, kekuasaan maskapai dagang itu baru menguat pada pertengahan abad XVIII, setelah tiadanya sosok bangsawan seperti Pangeran Arya Cirebon yang dikenal sebagai diplomat dan negoisator yang ulung. Kala itu, Langseb adalah desa kecil di bawah kewenangan Cirebon.
Dengan kedudukan inferior (subordinat) yang demikian itu, Luragung bersama masyarakatnya tidak bisa melakukan apa-apa ketika mendapatkan instruksi dari VOC melalui kebijakan-kebijakan yang disampaikan oleh para pangeran Cirebon. Saat Kompeni menggalakkan penanaman kopi, lada, dan komoditas-komoditas lainnya, ke tengah masyarakat, para pemimpin hanya bisa mengiyakan permintaan itu tanpa berani membantahnya sedikitpun. Pada masa itu, penolakan yang disampaikan hanya akan dianggap sebagai suatu pemberontakan yang berasal dari bawahan kepada atasan.
Setelah masa kepemimpinan Singayuda berakhir, daerah Luragung kemungkinan dipimpin oleh tokoh lain yang bernama Suradita dan kemudian Jangbaya. Belum ditemukan informasi lain tentang bagaimana kiprah kedua sosok ini, tapi menurut manuskrip Babad Luragung beliau berdua adalah orang Sunda yang merupakan putra dari Singayuda dan kemudian melanjutkan kedudukan sang ayah sesuai kebiasaan yang ada sebelumnya. Dalam hal ini, nama Jangbaya kemudian muncul dalam laporan-laporan kolonial sebagai sosok kuat, berani, tangguh, berjiwa patriot, dan pejuang, yang ikut berperang dalam Perang Kedongdong.
Makam dan nisan yang dikaitkan kepada Mbah Jangbaya di bagian utara desa dengan jelas mengindikasikan bahwa tokoh itu berasal dari masa yang sudah dipengaruhi oleh agama Islam. Sebab, orang pra-Islam biasanya mengabadikan jenazah orang yang meninggal dengan cara yang berbeda. Ada yang dikuburkan dengan tata ritual tertentu, namun ada juga yang dibakar dan hanya disimpan abu nya oleh keluarga yang bersangkutan. Sedangkan makam Mbah Jangbaya tidak begitu karena makamnya masih eksis, walaupun kondisinya cukup memprihatinkan karena bentuknya sudah tidak lagi tampak seperti makan pada umumnya.
Gambar 5. Gambaran Desa Luragung dalam Dokumen Arsip tahun 1815
Informasi tentang Luragung menjadi lebih jelas pada awal tahun 1800-an. Dalam arsip zaman Raffles, diketahui bahwa Luragung pada tahun 1813 sudah ada dengan kepala desa yang ditulis dalam ejaan orang Eropa bernama Wirabangsa. Pada dokumen arsip yang ditulis 2 tahun kemudian, kedudukan Langseb semakin jelas karena desa itu dicatat sebagai bagian dari wilayah Pangeran Gebang dan memiliki populasi penduduk yang berjumlah 600an orang, paling banyak dari desa-desa lainnya. Sepanjang abad XIX, nama Luragung terus dicatat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai desa agraris yang memberi pajak dan setoran rutin kepada pihak penguasa. Setelah adanya reorganisasi wilayah pada tahun 1819, Luragung masuk ke dalam wilayah Regentschap Koeningan (Kabupaten Kuningan yang ada di bawah Karesidenan Cirebon atau residentie Cheribon).
Melalui De Topografische Dienst (Dinas Topografi), Desa Langseb kemudian dipetakan dan dikategorikan sebagai desa yang eksis karena memiliki kegunaan bagi pemasukan negara. Saat itu, pemukiman penduduk masih berupa rumah-rumah sederhana yang dibuat dari batang kayu dan bambu yang banyak terdapat di wilayah Luragung dan sekitarnya. Pada peta ini pula, pembagian antara Luragunglandeuh dan Luragungtonggoh mulai tampak karena di dalam kartografi itu kedua daerah sudah dipisahkan sebagai daerah yang saling berlainan satu sama lain. Kemungkinan peristiwa itu terjadi pada pertengahan abad ke-19.
Pada tahun 1942, Nusantara jatuh ke tangan Pemerintah Militer Jepang. Karena terus menerus dalam kondisi perang, Jepang memaksimalkan seluruh potensi tanah pendudukannya di Nusantara, termasuk di antaranya masyarakat Luragunglandeuh. Di zaman Jepang, orang Luragunglandeuh diperintahkan untuk melakukan kegiatan paramiliter dan militer, dimobilisasi untuk kegiatan pembangunan sejumlah infastruktur, dan didorong untuk menghasilkan panen yang melimpah demi kepentingan Perang Asia Raya mereka. Walaupun kondisi pada periode ini begitu memberatkan, masyarakat Luragunglandeuh mampu melewatinya dan bahkan menjadikannya sebagai modal spirit untuk menyongsong kemerdekaan yang terjadi pada tahun 1945.
D. Masa Kemerdekaan
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan oleh Ir. Soekarno yang didampingi Drs. Moh. Hatta pada 17 Agustus 1945, masyarakat Luragunglandeuh menemukan kebahagiaan dan euforia yang luar biasa. Namun kesenangan itu tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta dan pada tanggal 12 Oktober 1945 Brigade McDonald dari Divisi India ke-23 tiba di Jawa Barat. Tentara Inggris yang datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) dan bergerak atas nama Blok Sekutu. Namun dalam perkembangannya, mereka dibonceng oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) sehingga menimbulkan pelbagai provokasi yang bertujuan untuk memperburuk citra kemerdekaan masyarakat Indonesia. Niat terselubung Belanda untuk kembali merebut Indonesia pada akhirnya saling menghadapkan diri mereka dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia dalam gelanggang perang dan diplomasi. Dalam Perang Kemerdekaan atau Revolusi Fisik, Luragunglandeuh sebagai wilayah geografis menjadi panggung terjadinya peristiwa heroik berupa pertempuran antara para pejuang Republik Indonesia dengan tentara Belanda. Banyak orang Luragunglandeuh yang ikut terlibat secara aktif di dalam rangkaian perjuangan tersebut, baik berperang secara fisik, membantu secara moril ataupun materil. Perjuangan urang Luragunglandeuh kala itu dilandasi oleh motivasi demi martabat kemanusiaan dan kebanggaan sebagai bangsa yang merdeka.
Peran masyarakat Luragunglandeuh menjadi lebih berarti ketika Kerajaan Belanda melakukan Agresi Militer I dan II, lalu mengirimkan pasukan mereka, baik KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger, atau angkatan bersenjata milik pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sehingga banyak anggotanya yang berkebangsaan pribumi) ataupun KL (Koninklijk Leger, atau tentara kerajaan Belanda yang berkebangsaan Eropa). Kala itu, Pemerintah Karesidenan Cirebon harus pergi mengungsi ke wilayah pegunungan Kuningan, dan termasuk di antaranya memilih bermigrasi ke daerah Luragunglandeuh serta bergerilya di sana.
Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan tersebut, hampir semua elemen masyarakat Luragunglandeuh turut berperan karena mereka terlibat aktif dalam pelbagai saluran perjuangan. Ada yang tergabung ke dalam organisasi-organisasi kemiliteran untuk ikut berperang secara fisik, namun ada pula yang melakukan perjuangan dalam bentuk lain, misalnya menjadi mata-mata, petunjuk jalan, membuat dapur-dapur umum untuk menyediakan makanan dan akomodasi bagi para pejuang, melakukan negoisasi atau diplomasi dengan pihak Belanda atau RECOMBA (Regeringscommissaris voor Bestuursaangelegenheden atau pemerintah darurat versi Belanda di masa perjuangan yang dibentuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus Johannes van Mook).
Berkat perjuangan semesta yang dilakukan oleh masyarakat Luragunglandeuh, pada akhirnya desa ini turut merasakan kebahagiaan saat secara resmi orang-orang Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada akhir tahun 1949 dan harus kembali pulang ke tanah asal mereka di Eropa. Pelbagai perjuangan warga Luragunglandeuh pada masa revolusi pernah diabadikan ke dalam bentuk tugu yang pernah ada di depan balai desa. Namun meski demikian, agak sulit untuk menentukan tokoh sentral yang memiliki peran menonjol untuk diangkat dan dijadikan simbol perjuangan, karena masyarakat Luragunglandeuh berperan secara komunal. Kalaupun dituntut harus menyebut satu atau dua nama, tentu saja yang lebih berhak menentukannya adalah masyarakat Luragunglandeuh sendiri setelah mempertimbangkan kriteria yang ditetapkan pemerintah.
Pada perkembangan kemudidan, masyarakat Luragunglandeuh hidup dalam masa kemerdekaan. Walaupun terdapat sejumlah peristiwa disintegrasi yang mengancam bangsa, seperti halnya peristiwa Pemberontakan Divisi Bambu Runcing, Pemberontakan DI/ TII, dan lain-lain, warga Luragunglandeuh tetap teguh untuk bersatu padu berada dalam naungan negara Republik Indonesia. Seiring berlalunya masa, wilayah Luragunglandeuh terus mengalami perubahan. Tidak hanya perubahan fisik, namun juga perubahan mentalitas, yang mana hal itu bisa dilihat dalam grafik tingkat pendidikan yang terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu, di samping perubahan fisik daerah yang sudah memperlihatkan wajah-wajah baru pembangunan dan kemajuan.


